“Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Tuhannya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan ayat-ayat Tuhannya (Al Qur’an), dan mereka yang tidak mempersekutukan Tuhannya. Dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya. Mereka itulah orang-orang yang selalu bersegera dan berlomba dalam melakukan kebaikan”. (QS. Al Mu’minun ayat 57-61)
Dengan lima ayat tersebut ini Allah memperlihatkan bagaimana seharusnya hati sanubari seorang Mu’min, untuk kita merenung, sudahkah kita mempunyai hati yang demikian, untuk ukuran atau thermometer iman kita.
Pertama, hati seorang yang beriman selalu ada dalam keadaan takut, bimbang, dan berhati-hati. Dalam benak selalu ada pertanyaan, sudahkah sempuma kita mengerjakan apa yang diperintah Allah. Diterangkan pula pada ayat berikutnya (58) alasan mengapa orang yang beriman merasa takut dan berhati-hati, yaitu karena saat seseorang telah mulai percaya kepada segala ayat dan tanda kebesaran Allah yang telah diterangkan oleh utusan-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Dia bimbang adakah semua perintah llahi itu sudah diturutinya dan larangannya sudah dihentikannya.
Di dalam dunia ini kekayaan bendalah yang dibanggakan oleh manusia. Tetapi apabila seorang makhluk telah sampai ajalnya harta benda dunia itu tidak berguna lagi. Yang berguna ialah hati yang tulus ikhlas, yang suci bersih dari pengaruh syirik (mempersekutukan Allah). Sebagaimana disebutkan dalam ayat 59.
Yang menyebabkan hati Mu’min selalu bimbang, bukan bimbang dalam keraguan, melainkan bimbang kalau-kalau amal yang dikerjakannya belum juga ikhlas kepada Tuhan, sebelum bersih dari segala pengaruh yang lain seperti syirik dan dosa-dosa lainnya.
Oleh karena itu sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 60, apapun pekerjaan baik yang kerjakan dan memang seorang Mu’min itu pekerjaannya hanya yang baik belaka, dikerjakannya dengan hati-hati, tidak dengan serampangan atau asal jadi saja. Sebab mereka sadar, mereka akan kembali kepada Allah dan akan mempertanggungjawabkan amalan itu di hadapan-Nya.
Kehidupan Mu’min ialah kehidupan yang panjang, bukan memikirkan yang di dunia ini saja tetapi ada lagi hidup sesudah itu. Di sini menanam, di sana menuai. Di sini beramal di sana menerima balasan. Bukan sebaliknya: di sini hendak menuai, padahal tidak pernah menanam. Di sini hendak menerima balasan, tetapi tidak mau beramal. Sebab itu ditegaskan pada ayat berikutnya (61) oleh karena didorong oleh rasa takut kepada Allah, rasa Tauhid yang bersih, rasa bimbang kalau-kalau amal tidak diterima Allah, kalau pekerjaan tidak timbul daripada hati yang suci bersih, tulus dan ikhlas, mereka senantiasa memperbaiki amalnya yang belum baik, menambah yang masih kurang, menyempumakan lagi mana yang dirasanya belum sempuma.
Oleh sebab itu bimbangnya bukanlah melemahkan semangatnya, melainkan menimbulkan kecepatan, kesegaran berbuat baik. Mereka bersegera dan bertindak cepat, gesit dan aktif. Mengapa ? Sebab di dalam hatinya terasa takut, kalau tiba maut ketika amalan sedang kosong, Malaikat Izrail datang memanggil padahal tangan tengah menganggur, sehingga bekal yang akan dibawa ke hadapan Allah tidak ada, atau kalaupun ada, hanya sedikit, tidak seimbang dengan kelalaian hidup.
Untuk beramal yang demikian orang yang beriman berlomba, dahulumendahului. Bukan karena niat meninggalkan kawan, melainkan karena niat hendak menghadapkan wajah kepada Allah, mengharapkan ridha dan kasih-Nya, dan berusaha mendapatkan Jannah-Nya.
“Dan untuk itu, marilah berlomba setiap yang ingin berlomba….” (al-Muthaffifin: 26)
Salam Hangat, MyHayra Team
Sumber : http://kongaji.tripod.com
Leave a reply