‘’Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung-jawaban mengenai kepemimpinannya, kepala negara adalah pemimpin akan dimintai pertanggung-jawabannya atas rakyatnya, kepala keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung-jawaban atas keluarganya. Seorang wanita menjadi pemimpin di rumah suaminya, maka iapun dimintai pertanggung-jawaban atasnya.’’ (HR. Bukhari)
Mari kita simak cerita berikut ini.
AKU berlari seperti orang gila. Tak peduli orang-orang memandangiku dengan pandangan heran atau mungkin risih karena melihat ibu-ibu sepertiku dengan pakaian kerja rapi, dengan membawa banyak tentengan di tangannya, dan berlarian di jalan malam-malam begini. Aku tetap bergegas sambil terus saja kupandangi jam di tanganku. Waktu menunjukan pukul 20.30. Aku terlambat. Tidak! Aku sangat terlambat. Untuk kesekian kalinya aku membiarkan anakku menunggu terlalu lama. Seharusnya dari jam lima sore aku menjemputnya di tempat penitipan anak tapi karena pekerjaan kantor menuntutku untuk lembur, aku harus siap dengan ini semua.
Tapi bagaimana dengan anakku? Aku tidak akan memintanya untuk mengerti. Aku hanya berharap ia tumbuh menjadi anak yang sehat. “Ibu…!” teriak Bunga ketika melihatku. Aku segera mendekat kearahnya. “Apa ibu lembur lagi?” tanyanya. Aku mengangguk dan langsung memeluk putri kecilku yang berusia tujuh tahun ini.
“Maafkan ibu ya Bunga,” ia tersenyum, ah anak ini, ia selalu bisa mendamaikan hatiku.
“Ayo kita pulang bu!” kata Bunga mengajakku. Tapi sebelum itu aku harus menyelesaikan beberapa perihal administrasi karena pastinya biaya penitipan perjam bertambah karena aku terlambat menjemput anakku. Setelah semuanya selesai aku menggenggam tangan mungilnya. Kami bergandengan tangan. Di sepanjang jalan aku berkata kepadanya,
“Ingin rasanya ibu seharian bermain bersamamu, bahkan di hari libur Sabtu dan Minggu ibu sering kali harus ke kantor. Sehingga kita hanya punya waktu sedikit untuk bermain-main.”
“Selama ini Bunga pasti menahan keinginan untuk dapat terus bersama ibu bukan? Seperti ibu-ibu yang lainnya. Sejujurnya ibu sangat ingin bersamamu setiap saat, namun ibu juga menahannya.” Aku memandanginya. Anakku sayang, dia terlihat manis.
“Bunga apa kau tahu? Setiap kali ibu selesai bekerja, ibu ingin segera bertemu denganmu dan berusaha tak pulang terlambat bahkan berlari menemuimu. Ibu sudah berlari secepat mungkin, namun masih terlambat setiap hari. Iya kan?” Sejujurnya sangat sulit bagiku untuk menahan air mata ini, tapi aku berusaha menahannya. Aku tidak ingin Bunga melihatku menangis.
Aku seorang ibu pekerja, orang-orang menyebutku sebagai wanita karir. Bekerja bagi seorang ibu sepertiku hanyalah agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga, membantu suami untuk membiaya hidup.
“Ibu!” Bunga memanggilku
“Ya ?”
“Tak apa-apa jika pulang agak terlambat.”
“Kenapa?” tanyaku
“Aku bisa menunggu. Tak usah tergesa-gesa. Bagaimana jika ibu terjatuh saat berlari?” Aku terdiam, namun hatiku berteriak pilu mendengar perkataan anakkku. Anak sekecil ini begitu mengerti kondisi ibunya. Bahkan aku tak pernah mendengar Bunga mengeluh kepadaku.
“Baiklah. Ibu takkan berlari kalau begitu. Jangan khawatir, ibu takkan terjatuh,” aku tersenyum, hatiku berbunga-bunga mendengar perhatian dari malaikat kecilku: Bunga.
***
Ibu Karir
Menjadi seorang ibu yang bekerja bagi sebagian perempuan bukanlah pilihan tapi sebuah keharusan. Dihadapkan pada persoalan keuangan keluarga di mana gaji suami belum cukup mampu memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, di situlah peran seorang perempuan muncul untuk dapat turut serta melengkapi perjuangan. Bukan, bukan karena istri tidak dapat menerima apa adanya dari pemberian suami, namun kebutuhan hiduplah yang menuntut keduanya saling memahami sehingga perempuan turut berperan ganda menjadi pekerja dan juga ibu rumah tangga.
Kisah kedua anak perempuan Nabi Syu’aib ‘alaihis salam (QS. Al-Qashash [28] : 23-25) dalam hal ini bisa dijadikan teladan. Keduanya “terpaksa” keluar rumah untuk menggembalakan kambing-kambing milik ayahnya. Kondisinya ketika itu memang mengharuskan keduanya demikian. Yang membuat salut, saat keduanya bekerja menggembalakan kambing di luar, keduanya sangat menjaga kesucian diri. Tidak tebar pesona kepada cowok-cowok yang bukan maharamnya; tetap menjaga jarak dengan mereka; serta tetap gigih dalam pekerjaannya. Hatta ketika mendapat tawaran bantuan dari Nabi Musa ‘alaihissalam keduanya masih mampu menjaga harga diri. Kedua anak Syu’aib ‘alaihissalam adalah gambaran wanita yang harus kerja di luar, tapi tetap bisa menjaga rambu-rambu agama.
Seorang istri dan juga ibu yang menghabiskan sebagaian waktunya di kantor bukan suatu hal mudah untuk dijalani. Terlebih, jika tidak ada keikhlasan dalam menjalankannya. Ketangguhan itu muncul dari harapan untuk kehidupan yang lebih baik, demi melihat masa depan anak dan terpenuhinya kebutuhan seluruh keluarga serta membantu meringankan sedikit tumpuan beban tulang punggung keluarga.
Jika keadaannya bisa jauh lebih baik dengan kerjasama dan saling memahami antar suami–istri yang keduanya sama-sama bekerja di luar rumah namun dapat tetap solid dalam menjaga keutuhan keluarga di mana peran keduanya sebagai ibu dan juga ayah dapat sejalan dan tidak mengorbankan anak di rumah yang tumbuh dan berkembang tanpa pengawasan dan perhatian. Dengan demikian, menjadi seorang perempuan rumah tangga yang berkarir atas dukungan suami adalah sebuah peran yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Sebagian orang menganggap bahwa ibu yang berkarir telah meninggalkan anak dan keluarganya di rumah, bagiamana mungkin seorang perempuan yang telah menjadi istri dan ibu mampu hidup hanya dengan sebelah jiwa? Ibu karir tetap menjaga itu semua dalam hati dan pikirannya, menjalani peran ganda di tempat kerja sekaligus di rumah dapat dilakukan dengan baik, tidak mudah memang karena ini adalah perjuangan.
Tidak mungkin semuanya mampu berjalan sempurna, ada kalanya lelah mendera, tumpukan pekerjaan di tempat kerja, keadaan rumah yang tak sesuai harapan, anak-anak yang mengeluh, dan persoalan lainnya membuat tekanan hidup terasa jauh lebih sulit bagi mereka perempuan, istri, ibu sekaligus karyawan tapi mereka dapat menanggung itu semua dan bukan untuk kepentingan diri sendiri tapi sekali lagi untuk keluarga.
Ibu Rumah Tangga
Ibu rumah tangga yang setiap harinya berada di rumah, mengurus segalanya dari mulai kebersihan, kesehatan, keuangan dan sebagainya setiap anggota keluarga adalah sebuah pekerjaan yang memerlukan waktu dan tenaga yang tidaklah sedikit. Bahkan, waktu 24 jam sehari dianggap kurang untuk dapat menjalani itu semua.
Tak pernah absen dalam menjalani perannya, tak mungkin mengambil cuti dari pekerjaan yang setiap hari dijalaninya, pekerjaan di dalam rumah tak akan pernah habisnya seperti pakaian yang setiap harinya harus berganti dipakai namun tetap dijalaninya dengan penuh ketulusan tanpa mengharapkan imbalan apapun dari siapapun. Menjadi ibu rumah tangga adalah perjuangan bagi perempuan di mana kebahagiaan dapat ia ciptakan untuk dirinya dan keluarga.
Meski demikian, bukan berarti seluruh pekerjaan rumah adalah kewajiban ibu. Seorang suami seharusnya juga bersinergi agar meringankan tugas istri. Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. Manusia agung ini –sebagaimana manusia lain- juga menjadi kepala keluarga. Menariknya, saat di rumah, beliau tidak memperlakukan istri seperti pembantu. Tapi sama-sama bersinergi.
Ketika Aisyah ditanya mengenai apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat di rumah, beliau menjawab, “Beliau membantu pekerjaan istrinya.” (HR. Bukhari). Beliau tidak membebankan kewajiban rumah hanya pada istri. Beliau sendiri turut membantu. Di waktu lain, saat Aisyah ditanya tentang pekerjaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di rumah, beliau menjawab, “Sebagaimana manusia lain pada umumnya: menjahit baju, memerah susu, dan melayani dirinya.’ (HR. Ahmad).
***
Pada intinya, ibu karir atau ibu rumah tangga keduanya memiliki peran yang tidak dapat dibandingkan, keduanya berada di posisi masing-masing dengan segala problematika perjalanannya. Setiap perempuan tahu di mana tempat ia harus berada dengan menjaga diri dan keluarganya, di rumah full time atau sebagian waktunya di kantor, itu adalah pilihan atas dasar persetujuan suami sebagai penanggung jawab keluarga dan tidak melanggar batas-batas agama.
Kemudian, yang paling penting dari semua itu adalah anak-anak kita. Mereka tidak boleh kehilangan sosok ibu yang walaupun tidak setiap saat dapat mereka lihat namun dapat mereka rasakan keberadaannya. Anak-anak kita akan tetap tumbuh menjadi genarasi terbaik dalam pengasuhan kita walaupun ibu mereka memiliki peran lain di luar rumah, namun akan senantiasa mengawasi dan memberikan perhatian serta kasih sayang kepada mereka.
Sebagai penutup, ayat ini penting untuk direnungi baik bagi ibu karir maupun rumah tangga:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa [4] :9).
Wallahu a’lam.
Salam Hangat, MyHayra Team
Sumber : http://amoehirata.blogspot.com
Leave a reply